7.16.2008

Fight Againts Corruption!!

Kampanye Jihad Melawan Korupsi
Kamis, 17 Juli 2008
Oleh: DR. Hj. Masyitoh, M.Ag

Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana seorang anggota komisi yudisial (KY) tertangkap tangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September tahun lalu karena menerima uang Rp 600 juta dan 30 ribu dolar AS dalam pengadaan lahan untuk gedung KY. Belum lama berselang, 2 Maret lalu seorang jaksa juga tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus suap dana Bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar 660 ribu dolar AS. Disusul kemudian anggota DPR RI yang juga tertangkap tangan di sebuah hotel di Jakarta Selatan, 9 April dini hari, terkait penyuapan alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Peristiwa terbaru adalah ditahannya Gubernur Bank Indonesia yang dianggap terlibat kasus mengalirnya dana dari BI ke sejumlah anggota DPR RI. Belum lama ini juga, kasus ilegal logging yang sangat merusak keseimbangan alam di Kabupaten Ketapang, kalimantan Barat yang melibatkan banyak oknum, termasuk Kapolda Kalbar (yang berakhir dengan pencopotannya sebagai kapolda), 17 April lalu, menambah deretan panjang kasus korupsi dan suap yang melibatkan para pejabat dan petinggi negara ini.

Berbagai bentuk korupsi dan penyimpangan tersebut tentu mencoreng muka Pemerintahan Indonesia dan muka kita sebagai bangsa yang sedang gigih melawan korupsi dan penyimpangan keuangan negara. Ironis memang, di negara kita yang mayoritas muslim, justru banyak terjadi korupsi yang tentu bertentangan dengan ajaran agama. Tidak ada hal yang paling ironi di negeri yang mayoritas muslim ini selain kenyataan bahwa, korupsi begitu marak di berbagai lini kehidupan. Berbagai survey yang dilakukan lembaga, seperti Global corruption Index atau Transparancy International Index, dan lemabaga-lembaga sejenis dalam negeri, dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan indonesia termasuk rangking papan atas dalam peringkat korupsinya. Bahkan, tindak pidana korupsi tidak lagi tersentral di pusat kekuasaan di Jakarta, tetapi menyebar ke seluruh daerah, menjadi penumpang gelap dalam era otonomi dan desentralisasi.

Hampir pasti, sebagian besar koruptor itu menganut agama Islam. Mengapa tingkat korupsi di Indonesia begitu tinggi, padahal agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk sangat membenci korupsi dan memberikan ancaman sanksi yang keras terhadap para koruptor?

Bukan Persoalan Agama

Persoalan korupsi dan tindak pidana umum lainnya sebenarnya tidak terkait dengan nama sebuah agama. Di negara yang mayoritas Muslim, seperti Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria, yang korupsinya cukup tinggi, bisa dipastikan para koruptornya kebanyakan beragama Islam. Begitu juga dengan negara mayoritas Kristiani, seperti Argentina, Meksiko, Philipina, atau Colombia yang indeks korupsinya di atas tujuh, mayoritas pelakunya juga dari kalangan Kristiani. Bahkan Thailand yang mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan. Sementara itu, ada negara lain, yang juga mayoritas Muslim seperti Iran, Arab Saudi, Syria atau Malaysia, angka korupsinya jauh lebih rendah dibanding Indonesia atau Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristiani seperti AS, Kanada, atau Inggris dengan indeks korupsi di bawah dua.

Gambaran kasar ini memberi indikasi, tinggi atau rendahnya korupsi tidak banyak berkait dengan agama, tetapi lebih terkait dengan mentalitas pelaku, manajemen pemerintahan, dan penegakan hukum. Agama apapun, termasuk Islam, jelas tidak membenarkan umatnya melakukan tindak korupsi dan tindak kejahatan lainnya. Islam mengutuk keras tindakan korupsi dalam bentuk apap pun. Rasulullah Saw bersabda ”la’natullah ’ala al-raasyi wa al-murtasyi.” (HR. Bukhari-Muslim). Para ulama kontemporer menyepakati, risywah (bribery) tidak hanya berarti korupsi konvensional, seperti penyuapan, tetapi juga mencakup bentuk korupsi lainnya yang lebih canggih, seperti illegal logging, mark up, manipulasi dan sebagainya.

Dalam konteks ajaran islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-’adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab (mas’uliyah). Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang juga amat dikutuk Allah Swt.

Akan tetapi, tingkat penghayatan dan pengamalan agama setiap orang berbeda-beda. Pada satu segi, semangat keberagamaan terlihat meningkat di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk korupsi dan penyakit –penyakit sosial lainnya juga semakin mewabah. Lemahnya penegakan hukum, populernya gaya hidup hedonistis, tidak adanya political will dan keteladanan dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi, membuat korupsi kian merajalela, karena memang, korupsi juga sudah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia. Korupsi sudah berurat dan berakar dan menjadi mental sebagian besar penduduk bangsa ini. Karena itu, sekali lagi, dengan berbagai faktor yang mengakibatkan mewabahnya korupsi dan penyimpangan-penyimpangan lain, tidak adil bila secara simplistis mengkambinghitamkan agama.

Kampanye Jihad

Pemberntasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat secara luas. Lembaga-lembaga sosial seperti ormas keagamaan, LSM, perguruan tinggi dan sebagainya, sudah saatnya memainkan peran sebagai civil society dan pressure groups yang memiliki agenda turut berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance.

Sudah waktunya bagi lembaga-lembaga dan organisasi sosial keagamaan menyatakan perang secara lebih konsisten, tegas, dan terarah terhadap korupsi. Jika perlu, lembaga-lembaga keagamaan dapat mengeluarkan ”fatwa” tentang wajibnya melakukan jihad melawan korupsi. Inilah jihad yang relevan dan kontekstual untuk Indonesia masa kini dan masa yang akan datang.

Melalui fatwa jihad melawan korupsi yang dikeluarkan secara serempak oleh para ulama di berbagai ormas keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis dan lain-lain, perang melawan korupsi tidak hanya memiliki pijakan yuridis, politis, dan sosiologis, tetapi juga memiliki dasar telogis yang kuat. Sebab, dalam ajaran Islam jihad memiliki makna yang cukup dalam. Ajaran ini tidak hanya ditegaskan dalam berbagai hadits Rasulullah Saw tetapi juga mendapat tempat yang cukup luas dalam Al-Qur’an. Islam memandang, aktivitas jihad sebagai kewajiban asasi bagi setiap muslim, dan karenanya setiap warga negara yang baeragama Islam berkewajiban berpartisipasi dalam jihad memerangi korupsi.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan kampanye besar-besaran tentang jihad melawan korupsi itu. Kampanye ini tidak hanya melibatkan ormas keagamaan, tetapi juga perlu melibatkan pemerintah, LSM, media massa dan para tokoh masyarakat. Mereka perlu menabuh gendang perang melawan korupsi.

Tindak pidana korupsi juga perlu disejajarkan dengan tindak pidana terorisme, karena dampak yang ditimbulkan amat destruktif bagi segi kehidupan sebagaimana halnya terorisme. Dampak kerusakan terorisme hanya terjadi di lokasi dan sekitarnya tempat aktivitas terorisme dilakukan, tetapi dampak korupsi akan merugikan seluruh elemen masyarakat dan berbagai sendi kehidupan.

Terorisme mungkin menimbulkan rasa takut masyarakat, akan tetapi, korupsi sesungguhnya lebih jauh daripada itu, apalagi jika korupsi itu berskala besar. Korupsi yang menjarah harta negara berdampak sangat luas dalam kehidupan masyarakat. Dana yang dikorup itu semestinya bisa didistribusikan untuk mengentaskan kemiskinan, membuat sekolah gratis bagi kaum papa, menyediakan fasilitas kesehatan bagi mereka yang tidak berpunya, menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pengangguran, mengangkat nasib anak-anak terlantar dan anak jalanan, memberikan jaminan sosial bagi kalangan fakir dan miskin, memberikan proteksi bagi para petani miskin dari permainan harga para tengkulak dan sebagainya. Karena dana itu dikorup, maka program pengentasan kemiskinan bisa tertunda dan bahkan gagal direalisasikan. Akibat yang ditimbulkan cukup luas dalam kehidupan masayarakat.

Dengan demikian, dampak kejahatan korupsi tidak kalah dahsyatnya dengan terorisme. Oleh karena itu, para koruptor juga harus disamakan dengan para teroris yang harus diperangi dan dijerat dengan hukuman yang tegas dan sangat keras. Kalau para teroris dijatuhi hukuman mati, sudah saatnya para koruptor kelas kakap juga divonis dengan hukuman yang sama. Hukuman yang keras dan tegas ini diperlukan agar memiliki aspek edukatif bagi mereka yang akan melakukan tindakan serupa. Tanpa hukuman yang keras, korupsi akan terus mewabah ke berbagai sendi kehidupan bangsa dengan eskalasi yang semakin luas. Wallaahu a’lam bisshawab. (zar)
Sumber: Suara Muhammadiyah No. 12/Th Ke-93

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com